Selasa, 21 Oktober 2008

Sikap Responsif Nabi Sulaiman Dan Burung Hud-hud

April 7, 2007 at 1:13 am (Tafsir)

Oleh: DR. Amir Faishol Fath

Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: “Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”. Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang belum kamu ketahui; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini,

Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai `Arsy yang besar”. (An-Naml: 20-26)

Sikap responsif adalah kesadaran akan tugas yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kepekaan yang tajam dalam menyikapi berbagai hal yang dihadapinya dan kepahaman makna tanggungjawab yang harus dipikul adalah ciri utama kepribadiannya. Ia tidak merasa tidak enak jika suatu saat melalaikan kewajibannya. Perasaan berdosa selalu menghantuinya. Karena itu, kapanpun, bagaimanapun dan dalam kondisi apapun ia selalu berusaha secara maksimal untuk melaksanakan tugasnya. Tugas apapun selama dalam kebenaran dan dalam koridor ajaran Allah. Bukan hanya kewajiban ibadah ritual melainkan juga ibadah sosial. Ayat di atas menggambarkan sikap responsif Nabi Sulaiman sebagai seorang pemimpin, dan sikap responsive burung Hud-hud sebagai anggota yang paham akan tugasnya.

Sikap Responsif Nabi Sulaiman

Nabi Sulaiman dalam ayat di atas digambarkan sebagai pucuk pimpinan yang penuh sikap responsif kepada rakyatnya. Kata tafaqqada menunjukkan makna ini. Artinya pemerikasaan yang detil dan teliti. Cerminan dari besarnya rasa responilibitas yang sangat dalam. Bukan sekadar basa-basai atau formalitas. Melainakn ia benar-benar memeriksa. Imam Al Asfahani menyebutkan bahwa al faqd artinya tidak ada setelah tadinya ada. At tafaqqud bermakna ta’arufu fuqdanisy syai’, maksudnya upaya untu tahuk mengenai sesuatu yang hilang atau tidak hadir. Mengapa tidak hadir? Apa sebab ketidak hadirannya? (lihat, Al Ashfahani, mufradat alfadzil quar’an, h. 641). Sedemikian rupa sehingga seekor burung Hud-hud yang pada waktu itu nampak tidak hadir dipertanyakan. “Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir?

Hud-hud memang tidak hadir pada waktu itu. Sudah barang tentu bahwa ketidakhadirannya tidak ada yang tahu. Karenanya ketika Nabi Sulaiman bertanya tidak ada yang menjawab. Hal semacam ini bagi seorang pemimpin yang peka dan responsif bukan masalah kecil. Ketidakhadiran seorang anggota dalam sebuah pertmuan tanpa pemberitahuan sebelumnya adalah masalah yang harus mendapatkan teguran secara serius. Nabi Sulaiman benar-benar menunjukkan sikap keseriusannya. Simaklah pernyataannya: “Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya”. Hukuman pertama, Adzab yang keras dan hukuman kedua menyembelihnya, keduanya mencerminkan besarnya pelanggaran tersebut, dan kesungguhan seorang pemimpin dalam menakar setiap kesalahan sesuai dengan porsinya. Boleh jadi sebuah kesalahan nampak kecil di depan mata manusia tetapi ketika itu menjadi kebiasaan, akibatnya fatal dan mengancam hidupnya sebuah bangsa. Perhatikan ketidakhadiran seekor Hud-hud di atas, secara sepintas itu kesalahan kecil, tetapi mengapa Nabi Sulaiman menentukan hukuman yang sangat keras bahkan hukuman mati. Di sini Nabi Sulaiman sebenarnya ingin menegakkan kedisiplinan dan kejujuran sebagai tonggak hidup tidak sebuah masyarakat. Bila keduanya tegak secara sempurna masyarakat akan kuat, aman dan sejahtera. Sebaliknya bila keduanya hilang, masyarakat akan resah, sengsara dan kacau-balau. Perhatikan betapa jauh jangkauan berpikir Nabi Sulaiman. Makanya sekecil apapun yang mengarah kepada penggerogotan sikap disiplin dan kejujuran harus mendapat tindakan yang tegas.

Memberikan hukuman yang setimpal adalah kewajiban seorang pemimpin dalam setiap pelanggaran anggotanya. Ketidaktegasan dalam menegakkan hukum akan menyebabkan sikap main-main, kebiasaan berbuat maksiat dan keberanian melanggar aturan. Dari kebiasaan jelek tersebut akan lahir secara bertahap berbagai proses menuju kehancuran sebuah masyarakat, sebuah bangsa dan sebuah Negara. Bukti-bukti mengenai hal ini tidak terhitung dalam sejarah. Tetapi manusia sering kali tidak mau mengambil pelajaran dan suka mengulangi kesalahan masa lalu dengan tanpa merasa berdosa. Nabi Sulaiman memang tegas dalam menentukan hukuman, tetapi ia bukan tipe pemimpin dictator. Alasan yang jujur dan logis masih bisa diterima. Nabi Sulaiman berkata: kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”. Kata sulthan artinya kekuasaan, dan dalam ayat di atas dipakai untuk makna alasan yang kuat (hujjah), seperti dalam beberapa ayat berikut: alladzina yujadiluna fii ayaatillah bighairi sulthanin (Ghafir:35), fa’tuuna bisulthanin mubiin (Ibrahim:10), walaqad arsalna musa biayaatina wasulthanin mubiin (Ghafir:23) (lihat, Al Ashfahani, mufradat alfazhil quar’an, h. 420). Ini untuk menunjukkan betapa sebuah sikap dan perbuatan sekecil apapun harus berdasarkan alasan yang kuat, apalagi sikap tersebut berupa sebuah pelanggaran. Maka ia harus mempertanggungjawabkannya secara jujur. Bukan mencari-cari alasan, dengan menyembunyikan kebusukan di dalamnya. Setiap amal appun –apalagi amal dakwah di jalan Allah- jika fondasinya kebohongan dan kemunafikan yang busuk ia tidak akan pernah mendapatkan keberkahan dan pertolongan dari Allah. Karenanya bila suatu kaum hendak berdakwah di jalan Allah, maka yang pertama kali ia sempurnakan kepribadiannya, kebersihan dirinya dan dari sinilah kelak sikap responsif akan muncul. Sikap responsif tidak akan pernah muncul dari pribadi yang kotor, penuh maksiat dan tidak bertanggung jawab. Dari sini nampak kedalaman makna ungkapan: wasulthanin mubiin.

Sikap Responsif Burung Hud-Hud

Ustadz Sayyid Quthub menggambarkan bahwa Hud-hud tersebut bukan sembarang burung. Tidak seperti jutaan Hud-hud yang berkeliaran dimana-mana. Al Qur’an merekam kecerdasan dan sikap responsifnya yang luar biasa. Bahwa Hud-hud tersebut mempunyai kepribadian yang peka dan berkeinginan kuat (lihat Sayyed Qithub, fii dzilalil quar’an, vol.5, h.2638). Bukan hanya itu cara bersikapnya pun mencerminkan kebijakan yang luar biasa. Ketika datang Hud-hud langsung mengajukan alasannya dengan penuh keyakinan: “Aku telah mengetahui sesuatu yang belum kamu ketahui; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini, Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk”.

Apa yang tergambar dari alasan Hud-hud adalah:

(1) bahwa ia terlambat bukan apa-apa, melainkan dengan inisiatif sendiri sedang melakukan tugas yang sangat penting. Tugas yang dengannya kelak sebuah kaum menjadi tunduk kepada Allah. Di mana seandainya Hud-hud tidak melakukan itu, kaum tersebut akan terus tersesat jalan. Tidak menemukan jati dirinya sebagai hamba Allah, melainkan hamba setan dan matahari yang disembahnya. Perhatikan bagaimana sikap responsif burung Hud-hud yang demikian cerdas dan tajam ini telah menghentak kita semua. Allah merekamnya untuk menjadi pelajaran agar kita yang dibekali akal tidak kalah dengan burung Hud-hud dalam menegakkan kebenaran. Kecerdasan Hud-hud nampak dari segi cara memulai pembicaraan. Seketika ia berkata: Aku telah mengetahui sesuatu yang belum kamu ketahui”. Pembukaan ini menggambarkan pentingnya sebuah berita yang dibawanya. Di saat yang sama telah membuat Nabi Sulaiman terpanggil untuk mengetahui dan mengurungkan niatnya untuk mengazab atau menyembelihnya.

Dalam kondisi di mana Nabi Sulaiman sedang konsentrasi untuk mendengarkan alasannya, Hud-hud mulai bercerita: kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini, Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Di sini Hud-hud menekankan adanya kenyataan yang aneh. Seorang wanita memimpin sebuah kaum. Tersirat dari sini bahwa secara fitrah –sebagaimana ditangkap oleh Hud-hud- yang menjadi pemimpin puncak sebuah kaum seharusnya laki-laki. Para Nabi semuanya laki-laki. Nabi Sulaiman sebagai pemimpin pada waktu itu adalah laki-laki. Makanya ia buka laporannya dengan menyebutkan: Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka. Secara tidak langsung Hud-hud telah mengkritisi kenyataan sosial kaum Saba’ tersebut yang nampak bertentangan dengan fitrahnya. Dari sini terlihat betapa tingginya sikap responsif sang Hud-hud. Sehingga begitu Nabi Sulaiman mengambil tindakan, ia menekankan dalam suratnya seperti terekam pada ayat lebih lanjut: (An Naml:31): wallata’lu alayya wa’tuuni muslimiin (janganlah kamu berlaku sombong kepadaku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri). Dengan itu kemudian yang menjadi pemimpin puncak adalah Nabi Sulaiman.

(2) Hud-hud mengkritisi bahwa kekuatan politik wanita tersebut tegak bukan karena didukung oleh fikrah (risalah suci) melainkan oleh semata kekuatan harta. Simaklah Hud-hud berkata: dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Fenomena politik seperti ini bagi Hud-hud bukan hanya sebuah kepemimpinan yang rapuh, melainkan ia tidak sepantasnya meraja lela dan berlangsung lama. Sebab keberadaannya cenderung mengarah kepada kemungkaran. Dan itu sudah Hud-hud contohkan pada ayat selanjutnya bahwa mereka tidak menyembah Allah melainkan menyembah matahari. Berbeda dengan kerajaan Nabi Sulaiman yang memancarkan risalah tauhid (ketundukan total kepada Allah Sang Pencipta langit dan bumi). Karena itulah sisi tersebut Hud-hud tekankan dalam laporannya, supaya kelak tidak berulang sebuah kepemimpinan yang hanya mengutamakan fondasi materialisme. Dan supaya yang menjadi master plane adalah kepemimpinan Nabi Sulaiman yang gagah, berwibawa dan membawa risalah tauhid yang suci dan mulia.

(3) Hud-hud mengkritisi sikap kaum Saba’ dari sisi aqidahnya, ia berkata: Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk “. Di sini Hud-hud menginformasikan bahwa kaum Saba’ itu tidak menyembah Allah Yang Menciptakan mereka, melainkan menyembah matahari. Mengapa? Hud-hud menjelaskan itu karena mereka mengikuti ajakan setan, yang menyesatkan. Padahal setan tidak pernah berbuat baik untuk mereka, bahkan berusaha keras: (a) agar manusia tidak mendapatkan petunjuk yang benar (b)agar mereka tidak menyembah Allah. Tetapi mengapa mereka tetap terpedaya olehnya. Lain halnya Allah yang sudah jelas menyediakan segala yang mereka butuhkan. Dengar kata Hud-hud: Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai `Arsy yang besar”. Terlihat dengan jelas sikap responsif Hud-hud yang demikian dalam untuk memperbaiki setiap penyimpangan aqidah demi tersebarnya risalah tauhid. Benar, sekali lagi saya ingin mengutip ucapan Ustadz Sayyed Quthub di sini, bahwa Hud-hud tersebut bukan sembarang burung, melainkan burung istimewa, tidak sama dengan jutaan burung Hud-hud lainnya yang beterbangan di berbagai penjuru. Wallahu a’lam bishshawab.

Comments
LOYALITAS ISLAM

March 19, 2007 at 6:29 am (Aqidah)

Salah satu prinsip utama yang diajarkan dalam aqidah islamiyah adalah memberikan wala’ (loyalitas). Al Wala’ atau walayah adalah buah dari mahabbah (kecintaan). Ketika seseorang mencintai sesuatu, ia wajib memberikan wala’ kepada yang dicintainya. Demikian juga halnya manakala seorang hamba mencintai Allah, maka dia harus memberikan wala’nya itu kepada Allah. Cinta yang tidak menghasilkan wala’ tidaklah dapat disebut sebagai cinta yang sebenarnya.

Wala’ atau walayah biasanya diartikan sebagai loyalitas. Menurut Muhammad ibn Said ibn Saliim dalam “Al Wala’ Wal bara fil Islam”, al-walayah artinya pertolongan, kecintaan, pemuliaan, penghormatan, terhadap orang-orang yang dicintai baik dzohir maupun batin. Lawan dari kata wala’ adalah baro’ atau ‘adawah yaitu kebencian atau permusuhan.

Allah Wali dari orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir, wali-walinya adalah syetan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan”. (Al Baqarah: 257)

Allah sebagai “waliyullladzina amaanuu” maksudnya Allah merupakan pemimpin, penolong, dan pelindung bagi orang-orang beriman. Allah membimbing mereka dengan cinta dan kasih sayang sehingga mereka terlepas dari kegelapan jahiliyyah menuju cahaya Islam. Sebaliknya “awliyaa” (para pemimpin, penolong, dan pelindung) orang-orang kafir adalah thagut. Thagut adalah syetan dan segala yang disembah selain Allah. Thagut itu jumlahnya banyak dan mereka menyesatkan orang-orang yang mengikutinya sehingga mereka keluar dari cahaya Islam menuju kegelapan jahiliyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mendefinisikan Al Wala’ dan Al Baro’ dengan ungkapan, “Al Walayah kebalikan dari al-‘adawah. Asal pengertian al walayah adalah kecintaan dan kedekatan. Sedangkan asal pengertian al-‘adawah adalah kebencian dan kejauhan. Wali artinya orang yang dekat. Dalam Bahasa Arab “hadza yali hadza” artinya ini dekat dengan ini. Seperti dalam sabda Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam,

“Serahkan ilmu waris kepada pakarnya. Bila masih ada yang menyisa dari harta warisan, maka ia menjadi milik orang yang paling dekat dengan orang yang mati”.

Berwala’ dalam Islam ini implementasinya dilakukan dengan memberikan wala’ kepada Allah, Rasul, dan orang-orang yang beriman dalam satu kesatuan, sebagaimana disebutkan Al Qur-an,

Sesungguhnya Wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (QS. 5, Al Maaidah:55)

Loyalitas Kepada Allah

Sumber utama dari Al Wala’ wal Baro’ adalah Kalimat tauhid “laa ilaha illa-Llah”. Di antara makna kalimat Tawhid adalah “Laa waliya illa Llah”(tiada wali yang disembah kecuali Allah). Loyalitas kepada Allah adalah memberikan kepercayaan bulat untuk dipimpin dan diarahkan oleh Allah dengan segala kecintaan dan kesetiaan. Maka wala’ kepada Allah bermakna bersedia menyerahkan diri secara total kepada Allah untuk dipimpin dan diarahkan dengan segala kecintaan. Atau menyediakan diri untuk dipimpin Allah secara total tanpa sedikitpun perlawanan. Wala’ kepada Allah ini hanya akan diterima manakala terdapat Bara (penolakan) kepada segala bentuk sembahan selain Allah atau kepemimpinan yang tidak bersumber dari Allah.

Al Waliy merupakan salah satu makna Al Ilah (Sembahan). Dengan kata lain sesuatu yang disembah adalah sesuatu yang dijadikan pemimpin, penolong, pelindung atau teman akrab yang sangat dicintai. Tiada yang boleh diperlakukan sebagai sembahan dalam bentuk seperti ini kecuali Allah semata. Nabi Ibrahim Alaihissalaam telah menunjukkan sikap tauhid seperti ini,

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:”Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja… (QS. 60. Al Mumtahanah:4)

Al Wala’ kepada Allah ini selain diartikan loyalitas juga mengandung makna “kesetiaan” dan lawan dari pengkhianatan. Karena itu, manakala seseorang memberikan wala’nya kepada Allah maka dia tidak boleh mengkhianati-Nya. Dia pun wajib memberikan kesetiaan kepada Allah meskipun dia berada dalam keadaan susah.

Bukan itu saja, dia pun harus menyesuaikan diri dengan mengikuti petunjuk-Nya tentang apa yang dicintai dan diridhai-Nya, tentang apa yang dimurkai, diperintah dan dilarang-Nya. Sebagai balasannya, Allah akan memberikan wala’Nya kepada orang tersebut. Allah pasti akan mencintai, melindungi, membimbing dan menolongnya. Bahkan orang yang memusuhi wali Allah juga akan menjadi musuh Allah. Dan orang yang menjadi musuh Allah otomatis menjadi musuh walinya pula. Firman Allah,

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menjadikan musuhku dan musuhmu menjadi teman-teman setia, yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang”. (Al Mumtahanah: 1)

Barang siapa yang memusuhi wali Allah berarti dia memusuhi Allah. Dan barang siapa memusuhinya, berarti ia memeranginya. Maka disebutkan dalam sebuah hadits: “Dan barang siapa memusuhi penolong-Ku, maka dia telah memperlihatkan kepada-Ku permusuhan”.

Bagaimanakah penampilan orang-orang yang memberikan walanya kepada Allah sepenuhnya? Sejarah Islam memperkenalkan kepada kita pribadi-pribadi mulia pencinta Allah dan pemuja-pemuja-Nya yang setia. Pola kehidupan mereka memang terasa aneh untuk orang-orang di zaman ini, tetapi itu adalah kenyataan dari hasil keimanan dan amal sholeh mereka. Beberapa hal berikut ini merupakan sekelumit dari kisah-kisah mereka.

Amirul mu’minin Khalifah Umar bin Khattab pernah mengalami kesibukan yang luar biasa. Beliau asyik mengurus kebunnya sampai masuklah waktu sholat ashar. Ketika beliau sadar, beliau segera bergegas ke masjid ternyata orang-orang sudah pulang dari masjid. Khalifah sangat menyesali kejadian itu. Baru kali ini dalam hidupnya beliau terlambat sholat berjamaah di masjid. Karena kejadian ini, Khalifah Umar memutuskan untuk menyedekahkan kebun yang melalaikan dirinya.

Ketika melukiskan pribadi Al Hasan Al Zubdy, Imam Al Zahaby berkata, “Beliau menghabiskan seluruh waktunya demi ibadah, ilmu, menulis, mengajar dan belajar, hingga akhirnya Allah memberinya tempat yang istimewa di hati manusia, baik kaum awam maupun ulama”.

Imam Ibnul Qayyim Al Jauzy sendiri adalah seorang ulama yang sangat sholeh. Dalam perjalanan hajinya dari Syria menuju Makkah Al Mukarramah beliau menulis Kitab Zadul Ma’ad yang spektakuler. Kitab itu kadang beliau tulis di atas ontanya yang sedang melaju menuju Baitullah.

Adapun Imam Ibnu Taimiyah, guru Ibnul Qayyim terkenal sebagai ulama mujadid (pembaharu) yang banyak menghasilkan karya besar. Namun hidup beliau senantiasa dalam fitnah karena dikejar-kejar orang-orang yang memusuhi Islam. Ketika beliau di penjara, beliau bersenandung,
Apa yang dikehendaki musuh-musuhku daripadaku

sesungguhnya surgaku ada dalam hatiku

Apabila mereka memenjarakan daku, maka penjara itu tempatku berkhalwat

Dan apabila mereka mengusirku maka kepergianku adalah tamasya

Dan apabila mereka membunuhku mereka mempertemukan Aku dengan kekasih-Ku

Beliau berkata, “Di dunia ini ada satu surga, siapa saja yang tidak memasukinya, ia tidak akan merasakan surga akhirat”. Yang dimaksud surga oleh beliau adalah “kelezatan iman dan cinta kepada Allah”. Demikianlah pendirian Ibnu Taimiyah yang telah menunjukkan wala-Nya kepada Allah dan mengabdikan diri untuk berjihad di jalan-Nya.

Gambaran di atas baru sekelumit saja dari panggung sejarah Islam yang kaya dengan orang-orang sholeh dan sepak terjangnya di jalan Allah.

Loyalitas Kepada Rasulullah

Sebagai konsekuensi mencintai Allah adalah mencintai Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam dan mengikuti beliau. Nabi Muhammad adalah kekasih Allah. Karena itu, mencintai Allah juga harus diwujudkan dengan memberikan wala’ kepada Nabi. Inilah makna firman Allah,

Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3. Ali Imraan:31)

Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam adalah seorang hamba yang diutus Allah untuk memimpin manusia dalam beribadah kepada-Nya. Karena itu berwala’ kepada Nabi artinya dengan segala kecintaan menjadikan Nabi Muhammad sebagai kekasih, pemimpin, pembimbing hidup, penuntun jalan, idola, dan panutan yang dibela dengan segenap daya upaya dan pengorbanan dalam rangka berwala’ kepada Allah. Hal ini tidak bertentangan dengan berwala’ kepada Allah, malahan menjadi konsekuensi dari wala’ kepada Allah sebagaimana mengikuti Rasulullah merupakan konsekuensi cinta dan taat kepada Allah.

Berwala’ kepada Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam menjadikan wala’ seseorang kepada Allah mengikuti manhaj (konsepsi) yang benar dan diridhai Allah. Nabi Muhammad adalah sebaik-baik manusia dalam hubungannya dengan Rabbul Alamin, menjadi contoh dan teladan utama dalam menegakkan Kalimat tauhid.

Rasulullah adalah Kholilullah (Kekasih Allah) sekaligus Waliyullah (Sahabat Dekat Allah). Inilah manusia yang paling dicintai Allah sepanjang adanya kehidupan. Mengapa? Karena beliau diberi Allah karunia terbesar sepanjang sejarah kehidupan. Beliau adalah hamba pilihan Allah dan utusannya yang terakhir untuk segenap manusia. Beliau telah menunaikan tugas mulia ini dengan sukses. Ia telah meletakkan pancangan “Iqomatud diin” (penegakkan Agama) yang akan tetap terpelihara sampai hari kiamat nanti.Rasulullah merupakan orang yang paling bersyukur kepada Allah atas karunia dan ni’mat yang diberikan-Nya. Beliau merupakan manusia paling thaat dan patuh pada ajaran yang dibawanya. Menjadi contoh dan teladan bagi pelaksanaan ajaran Islam sepanjang masa. Karena itu Allah dan para Malaikat memuji beliau,

Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan baginya”. (Al Ahzab: 56)

Bila Allah dan para Malaikatnya menyampaikan sholawat kepada Rasul, maka kita lebih wajib lagi untuk mengucapkannya. Disebutkan dalam hadis,

Dari Anas r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Barang siapa yang disebut namaku di hadapannya, makabershalawatlah kepadaku, barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan mendoakannya sepuluh kali”

Suatu ketika shahabat Rasulullah Umar bin Khattab datang menemui Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam. Umar radliyallahu anhu berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu!”

“Seperti apakah kecintaanmu padaku hai Umar?” tanya Rasulullah.

“Aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri!” sahut Umar.

“Tidak, hai Umar!! Engkau baru dikatakan mu’min bila mencintaiku lebih dari mencintai dirimu sendiri”. kata Rasulullah menegaskan.

Umar berkata, “Kalau begitu, aku mencintaimu lebih dari diriku sendiri”.

“Nah sekarang baru benar” , kata Rasulullah salallahu alaihi wa sallam.

Jelas bahwa Rasulullah mengajarkan para shahabatnya untuk lebih mencintai beliau dari diri mereka sendiri. Dalam ajaran Islam kecintaan seperti ini merupakan pertanda lurusnya iman seseorang. Beliau bersabda,

Tidak beriman salah seorang dari kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, atau seluruh manusia”. (HR. Bukhari)

Hal ini berarti, kecintaan kepada Rasulullah tidak boleh dikalahkan oleh kecintaan kepada istri, anak tersayang, profesi, hobbi, bangsa, negara, dan sebagainya. Bila tidak, maka kita tidak bisa digolongkan orang mu’min! Jika ada orang mengaku beriman, tetapi ternyata hawa nafsunya belum bisa meninggalkan suatu yang dilarang Rasulullah, maka imannya dusta, dan ia tergolong munafik! Hal ini ditegaskan pula oleh Rasulullah,

Tidak beriman salah seorang dari kamu, sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”. (HR. Bukhari Muslim)

Kalau kita buka lembaran sejarah dan menelusuri kembali rangkaian kisah generasi pertama dari kalangan sahabat Rasulullah dan para pengikutnya, niscaya akan kita jumpai contoh-contoh manusiawi yang mengagumkan tentang bagaimana mereka merasakan gelora cintanya kepada Allah dan Rasul.

Al Baghawi menuturkan kisah dialog Rasulullah dengan Tsauban, seorang khadam (pelayan) yang sangat cinta pada beliau. Suatu hari, saat Rasulullah menjumpai Tsauban, serta merta raut wajahnya berubah. Lalu Rasulullah bertanya padanya, “Mengapa rona wajahmu berubah Tsauban?”. Dengan serius, Tsauban menjawab, “Saya tidak sakit ya Rasulullah, kecuali hanya saya tidak dapat memandangmu. Saya merasa begitu sepi dan dicekam oleh rasa ketakutan yang luar biasa. Ketakutan dan kesepian itu baru hilang sampai saat saya berjumpa denganmu. Kemudian saya ingat akan akhirat, dan sayapun kembali diliputi oleh rasa cemas kalau-kalau saya tidak dapat melihat engkau. Bukankah engkau kelak diangkat dan dikumpulkan dengan para Nabi lainnya. Sedangkan saya, jika saya masuk surga mungkin saya tidak bisa tinggal dekat denganmu. Tetapi jika saya tidak masuk surga, tentu saya tidak akan dapat memandangmu lagi selama-lamanya”.

Itulah ungkapan perasaan Tsauban yang teramat mencintai Rasulullah. Perasaan seperti itu sungguh mengagumkan, sehingga Allah sendiri berkenan menjawab keresahan hati Tsauban. Kepada Rasulullah turunlah Surat An Nisa ayat 69, sebagai jawaban bagi kerinduan hati Tsauban:

“Siapa saja yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, para syuhada dan orang-orang yang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”

Loyalitas kepada orang-orang yang beriman

Bagian ketiga dari wala’ dalam Islam adalah berwala’ kepada orang-orang yang beriman. Loyalitas yang diberikan kepada orang-orang mu’min merupakan perwujudan dari berwala’ kepada Allah dan Rasulnya. Al Qur-anul Karim telah menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah awliya Allah (para wali Allah).

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (QS. 10:62-63)

Karena mereka merupakan awliya Allah maka setiap mereka hendaknya saling memberikan wala. Dalam hubungan interaksi sesama mu’min diwajibkan adanya mahabbah (kecintaan) antara seorang muslim dengan yang lain. Adapun tingkatan mahabbah yang paling rendah adalah bersihnya hati (salamush shadr) dari perasaan hasud, membenci, dengki dan sebab-sebab permusuhan dan pertengkaran. Mahabbah dalam kesehariannya direalisasikan dalam bentuk sikap wala’ (loyalitas, tolong menolong, saling membimbing) antara satu dengan lain, “ba’duhum awliya-u ba’din”. Bentuk wala’ yang paling tinggi adalah itsar, yaitu mengutamakan memenuhi kepentingan saudaranya sesama muslim daripada kepentingannya sendiri.

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 9. At Taubah:71)

Berbagai bentuk itsar, sebagai wala’ yang tertinggi telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Di antaranya adalah persahabatan antara Abu Bakar dan Rasulullah. Abu Bakar senantiasa mengutamakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam dari kepentingan dirinya. Ketika keduanya berada di gua Tsur dalam perjalanan hijrah yang menegangkan misalnya, Abu Bakar selalu melindungi Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam.Abu Bakar tidak berani membangunkan Nabi yang tertidur di pangkuannya. Padahal kakinya dipatuk ular. Dia tetap menahan rasa sakitnya yang bersangatan karena tidak ingin mengganggu Nabi yang kelelahan dan beristirahat di pangkuannya. Nabi terbangun karena tetesan airmata Abu Bakar yang kesakitan. Setelah terbangun, Nabi pun mengobati luka Abu Bakar …

Benarlah Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (HR.Muttafaqun’Alaih)

Dengan demikian maka ia juga membenci segala sesuatu yang menimpa atas saudaranya sebagaimana ia membenci sesuatu itu menimpa dirinya. Maka jika ia senang bila dirinya memperoleh kemakmuran hidup maka ia juga menginginkan hal yang demikian itu terhadap saudaranya. Dan jika ia menginginkan mendapat kemudahan dalam kehidupan berkeluarga(nya), maka ia juga menginginkan hal itu diperoleh orang lain. Dan jika ia ingin anak-anaknya menjadi cerdas, maka ia juga menginginkan hal yang sama untuk orang lain. Dan manakala ia menginginkan untuk tidak disakiti baik ketika berada di rumah atau ketika sedang bepergian, maka begitu pula ia menginginkan kepada seluruh manusia. Dengan demikian ia menempatkan saudaranya seperti dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai dan benci.

Berwala’ kepada orang-orang beriman mewajibkan kaum muslimin meninggalkan wala’ kepada selain Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman. Ini berarti kaum muslimin harus mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Sejalan dengan firman Allah,

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)

Islam telah melarang kaum muslimin untuk memberikan wala’nya kepada orang-orang selain mereka. Memberikan wala’ kepada orang-orang kafir akan membawa kepada kemunafikan,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) (QS. 4:144)

Memberikan wala’ kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah pengkhianatan yang membuat pelakunya digolongkan kepada golongan mereka


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. 5:51)

Comments
Kisah Neraka Jahannam

March 18, 2007 at 4:11 am (Aqidah)

Dikisahkan dalam sebuah hadis bahwa sesungguhnya neraka Jahannam itu adalah hitam gelap, tidak ada cahaya dan tidak pula ia menyala. Dan ia memiliki 7 buah pintu dan pada setiap pintu itu terdapat 70,000 gunung, pada setiap gunung itu terdapat 70,000 lereng dari api dan pada setiap lereng itu terdapat 70,000 belahan tanah yang terdiri dari api, pada setiap belahannya pula terdapat 70,000 lembah dari api.

Dikisahkan dalam hadis tersebut bahwa pada setiap lembah itu terdapat 70,000 gudang dari api, dan pada setiap gudang itu pula terdapat 70,000 kamar dari api, pada setiap kamar itu pula terdapat 70,000 ular dan 70,000 kala, dan dikisahkan dalam hadis tersebut bahawa setiap kala itu mempunyai 70,000 ekor dan setiap ekor pula memiliki 70,000 ruas. Pada setiap ruas kala tersebut ianya mempunyai 70,000 qullah bisa.

Dalam hadis yang sama menerangkan bahwa pada hari kiamat nanti akan dibuka penutup neraka Jahannam, maka sebaik sahaja pintu neraka Jahannam itu terbuka, akan keluarlah asap datang mengepung mereka di sebelah kiri, lalu datang pula sebuah kumpulan asap mengepung mereka disebelah hadapan muka mereka, serta datang kumpulan asap mengepung di atas kepala dan di belakang mereka. Dan mereka (Jin dan Mausia) apabila terpandang akan asap tersebut maka bergetarlah dan mereka berlutut dan memanggil-manggil, “Ya Tuhan kami, selamatkanlah.”

Diriwayatkan bahawa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah bersabda : “Akan didatangkan pada hari kiamat itu neraka Jahannam, dan neraka Jahannam itu mempunyai 70,000 kendali, dan pada setiap kendali itu ditarik oleh 70,000 malaikat, dan berkenaan dengan malaikat penjaga neraka itu besarnya ada diterangkan oleh Allah s.w.t. dalam surah At-Tahrim ayat 6 yang bermaksud : “Sedang penjaganya malaikat-malaikat yang kasar lagi keras.” Setiap malaikat apa yang ada di antara pundaknya adalah jarak perjalanan setahun, dan setiap satu dari mereka itu mempunyai kekuatan yang mana kalau dia memukul gunung dengan pemukul yang ada padanya, maka nescaya akan hancur lebur gunung tersebut. Dan dengan sekali pukulan sahaja ia akan membenamkan 70,000 ke dalam neraka Jahannam.

Tidak ada komentar: